
Tulisan ini sudah saya tulis 4 (empat tahun yang lalu) Kalau mau GE ER beberapa sudah diTINDAK LANJUTI...monggo
PILKADAL JANGAN NGADALI MASYARAKAT
Istilah yang secara tidak langsung mengandung kata KADAL mungkin memang sudah suratan.. Bisa jadi istilah tadi tepat juga sebagai peringatan bagi semua pihak yang terlibat didalam kepengurusan Pilkadal dan calon KADA nya sendiri agar tidak berusaha atau melakukan tindakan NGADALI masyarakat..
Didalam istilah Jawa Ngadali berarti ngapusi, mencederai atau mengingkari janji-janji yang sudah diucapkannya. Umumnya janji-janji yang disampaikan tersebut sifatnya hal-hal yang muluk-muluk atau kalau istilah Jawanya disebut NGGEDABRUS.. Kasihan masyarakat sekarang. Khususnya kaum miskin papa. Mereka sudah lama menderita. Penderitaan ini kalau dirunut tidak lain juga hasil, akibat, efek, atau produk dari DIKADALI.
Urutannya adalah : Pemerintah atau Oknum Pejabat Tinggi dirayu, dibutakan matanya dengan iming-iming “hadiah” material yang tidak “ternilai” harganya kembali lagi dari yang menamakan dirinya oknum Konglomerat. Oknum Konglomerat dengan dalih punya “USAHA” besar butuh modal, Modal akhirnya dapat dikeluarkan Pemerintah karena dipameri agunan yang “WAH” yang sebenanrnya juga NGADALI tadi (karena agunan yang dipamerkan sebenarnya fiktif semata) Selain itu, juga dijanjikan pembagian keuntungan antara oknum pejabat tinggi dengan oknum konglomerat dengan prosentase yang dirahasiakan (mereka saja yang tahu). Ibarat suami istri yang sedang berada dikamar yang tertutup. Hanya mereka sendiri yang tahu. Apa sedang bertengkar, bercinta, diam-diaman dan lain sebagainya
Lalu kejadian, modal dilarikan oleh oknum konglomerat dengan nilai trilyunan ke luar negeri. Oknum Pejabat yang sudah kadung dapat bagian blingsatan. Bingung nggak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Akhirnya mengarang scenario dengan berbagai dalih agar terbebas dari hukuman gantung. Personil Hukum yang bisa dimintai tolong membebaskan tuduhan di ajak kompromi untuk NGADALI semua pihak terkait,.
Dan akhirnya masyarakat pula yang menerima dampak Kadal Mengkadal ini. Sehingga negara ini, menjadi negara yang sangat miskin. Perekonomian sangat jauh dari merata. Banyak yang dapat mengenyam hidup kaya, pendidikan tinggi dan mewah, tetapi jauh LEBIH BANYAK pula yang hidup dalam kemiskinan.
Untuk itulah dalam lingkup perkotaan ini, janganlah praktek kadal mengkadal ini disuburkan. Buatlah janji-janji yang sesuai dengan kondisi yang ada. Tidak perlu muluk-muluk asal dapat diujudkan dan dirasakan nyata oleh rakyat atau masyarakatnya. Marilah masyarakat diajak ikut serta terlibat dalam menentukan nasib kota/kabupaten ini. Didiklah, agar bisa menghadapi realita yang ada. Jika memang miskin, ajaklah untuk berhemat, bersama-sama bekerja keras ikut meningkatkan perekonomian. Meningkatkan SDM nya. Jika memang kaya, ajaklah “berpesta” dan tetap menjaga kekayaan tersebut.. Jangan diKADALI dengan hal-hal yang JAUH DARI KENYATAAN . Sejauh itu dilakukan dengan adil, bergandengan tangan, bahu membahu (tidak terjadi kesenjangan social yang lebar), pasti rakyat akan dengan LEGOWO mau menerimanya.
Buatlah rencana dan aturan yang jelas yang masuk akal. Baik rencana jangka pendek maupun rencana jangka panjang. Koordinasi yang baik dengan semua pihak terkait, terintegrasi dengan baik antar satu bidang dengan bidang yang lainnya. Buatlah iklim yang sehat, sinergi yang baik antara pemerintah, masyarakat dan semua pihak terkait.
Jaga dan susun pula istilah-istilah , kata-kata. ucapan-ucapan atau janji-janji dari calon KADA yang digembar-gemborkan yang menurut penulis seringkali terdengar dan terasa “KONYOL”. Misalnya “Kalau saya terpilih jadi KADA nanti, kaum miskin akan saya bebaskan dari biaya pendidikan” Seharusnya dijelaskan lebih bijak. Kriteria miskin itu yang mana, yang dimaksud biaya pendidikan itu yang mana. Karena masyarakat sekarang banyak yang merasa diKADALI dengan janji-janji tersebut. Bebas biaya pendidikan ternyata hanya bebas dari SPP. Uang buku, uang saku, uang transportasi, uang bayar ekstrakurikuler, uang seragam, termasuk sepatu dan lain sebagainya (yang kalau ditotal akan jauh lebih besar dari SPP) masih harus dibayar sendiri. Ibarat jauh JUDUL dari ISI nya..
Saya menjadi ingat akan satu ceritera dari suami saya yang waktu itu kunjungan kerja ke Taiwan. Melihat Taiwan yang sekarang ini sudah maju dan nampak makmur. Suami saya bertanya pada salah satu pejabat Tinggi pemerintahan disitu. :Wah tentunya dengan kondisi negara anda yang makmur begini anda menerima gaji yang sangat tinggi ya?” Jawab Petinggi Taiwan tadi : “Tidak salah. Benar sekali.” “Tapi perlu dicatat. Saya menerima gaji tinggi pada saat negara saya perekonomiannya sudah bagus. Waktu perekonomian ini masih memprihatinkan, gaji sayapun juga menyesuaikan.”
Alangkah indahnya jika hal tersebut juga diterapkan di negeri ini, dikota/didaerah di Indonesia negeri tercinta ini. Bukan justru seperti oknum legislative yang hampir setiap hari menghiasi Koran-koran dan media lain untuk meminta kenaikan gaji yang tidak tanggung-tanggung besarnya, yang sangat tidak proporsional dengan kondisi kota/daerahnya
Surabaya, 04 April 2005
Uniek Wardhono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar