Minggu, 15 Februari 2009

MENUJU SINGGASANA ......

MENUJU SINGGASANA WALIKOTA ATAU BUPATI


Kalau jabatan Walikota atau Bupati diibaratkan raja didalam istana, Maka perebutan kursi Walikota atau Bupati didalam Lingkungan Kota/Kabupaten bisa disamakan dengan memperebutkan singgasana.
Apabila dikaji secara benar, jabatan Walikota atau Bupati tidaklah seenak dan segampang yang dibayangkan. Ini tentu saja apabila yang dikerjakan seorang Walikota atau Bupati benar-benar memikirkan pengembangan dan kemajuan kota/kabupaten secara keseluruhan. Meliputi mutu dan kualitas masyarakatnya, sumber daya masyarakatnya, kesejahteraan seluruh masyarakatnya. Dan bukan sekedar untuk gengsi-gengsian atau untuk memperkaya diri apalagi demi ambisi dan kepentingan sekelompok orang atau golongan tertentu.
Bagaimana bisa enak? Dilingkup kerjanya, dilingkungan para birokrat, kaum intelektual dan masyarakatnya, seorang Walikota atau Bupati bukanlah sebagaimana seorang atasan terhadap bawahannya, Jabatan tersebut sifatnya sementara politis dan bisa kembali lagi menjadi masyarakat biasa biasa, demikian sebaliknya. Bahkan seorang Walikota atau Bupati harus siap menjadi “abdi” atau “pelayan” masyarakat. Harus siap dua puluh empat jam bahkan kalau bisa lebih untuk melayani kepentingan rakyat banyak.Tanggung jawabnyapun cukup besar atas keberlangsungan, dan mutu dari seluruh masyarakat yang ada dibawah naungannya.
Untuk kota atau kabupaten yang lingkupnya cukup luas dan yang usianya tidak muda lagi, akan menghadapi multi kepentingan didalam hal mengendalikan masyarakatnya , Dari kaum intelektual , sesepuh kota, pengusaha hingga pengemudi becak, dimana tuntutan masing-masing tentunya akan sangat beragam.Pendapat-pendapat mereka selalu ingin didengar, untuk kemudian ditindak lanjuti dengan implementasinya
Lalu, kenapa jabatan ini banyak diributkan dan diperebutkan? Apakah karena dengan menduduki jabatan ini, maka diharapkan disediakannya sarana dan prasarana atau fasilitas yang dapat dipergunakan untuk kepentingan pribadi? Atau apakah karena akan mendapatkan fulus-fulus yang salurannya lebih banyak? Atau dapat memaksakan kehendak pribadi atau kelompok kepada khususnya yang dianggap pesaingnya?
Berbagai cara ditempuh, sebagaimana partai politik yang mengkampanyekan partainya supaya menjadi pemenang pemilu. Team sukses dibentuk. Biaya yang kadang tidak kecil dikeluarkan. Rapat-rapat “gelap” perkelompok diam-diam diselenggarakan. Bisik-bisik dan omongan-omongan saling menjatuhkan yang dianggap rifalnya ditiupkan. Saling pengaruh-mempengaruhi. Psy War pun menjadi semakin panas dan semakin marak. Demikian juga masing-masing calon diam-diam melobi-lobi, bernegosiasi kepihak-pihak yang memungkinkan untuk bisa memberikan dukungan suaranya. Handphone-handphone bertralala trilili sebagai alat komunikasi yang paling praktis dan cepat yang bisa diandalkan.
Walau cara-cara tersebut dianggap kurang fair, dianggap curang, toh tetap berjalan juga. Banyak yang mengatakan bahwa cara-cara seperti itu kurang dapat dipertanggung jawabkan, karena terbukti besar dampak kerugiannya.
Bagaimana tidak? Mencalonkan diri dapat dibedakan menjadi dua, yakni mencalonkan diri (aktif) dengan ambisi yang cukup besar dan yang satu lagi (pasif) adalah sekedar memenuhi haknya , tetapi bukan berarti dia tidak siap apabila terpilih. Dua kategori tersebut jelas berbeda. Bagi yang mencalonkan diri (aktif) maka otomatis dia akan mencari dukungan, untuk mendapatkan singgasana tersebut, bahkan dengan menghalalkan segala cara, sebagaimana yang disebutkan diatas. Sedangkan bagi yang mencalonkan diri (pasif), maka dia tidak akan mencari-cari dukungan atau melobi-lobi sebagaimana yang aktif. Dia mengharapkan dukungan yang murni, bukan atas dasar paksaan, janji-janji ataupun iming-iming kalau yang besangkutan berhasil menduduki singgasana.
Bagi kategori kedua, merasa, bahwa tanggung jawab dikemudian hari sudah cukup besar. Waktu, tenaga dan pikiran lah yang akan dijadikan kompensasi atau imbalan jasa bagi seluruh warga masyarakat yang telah memilih dan mendukungnya. Tak terkecuali yang tidak memilihnya. Dia lebih memfokuskan diri bukan kepada bagaimana membalas budi pada Team Suksesnya yang berarti hanya pada sekelumit atau sebagian masyarakat, tetapi bagaimana mengajak seluruh sumber daya manusia yang ada dikotanya untuk bersama-sama saling bahu membahu, bergandengan tangan menciptakan kesejahteraan, keguyuban, keharmonisan dan kemajuan bersama. Bersama-sama mewujudkan impian yang sudah disepakati bersama. Dia lebih setuju, kalau jabatan seorang Walikota atau Bupati itu tidak atau bukan untuk menduduki singgasana, kursi yang megah dan empuk. Tetapi jabatan tersebut bahkan jabatan-jabatan yang lainnyapun mestinya adalah untuk memangku jabatan, yang berarti memangku tanggung jawab. Karena dengan memangku, maka seseorang akan merasa, bahwa dia harus siap capai, siap memberikan rasa nyaman bagi yang dipangku, lebih berhati-hati, senantiasa menjaga keseimbangan, tidak berat sebelah supaya yang dipangku tidak jatuh,

Kalau sampai kini saja sudah diciptakan iklim persaingan yang tidak obyektif oleh para seniornya, lalu apa yang akan terjadi pada generasi muda yang akan datang? Bagaimana negara atau bangsa kita akan dididik menjadi lebih berpikiran obyektif ? Bebas dari KKN? Bebas dari lebih menomor satukan kepentingan pribadi atau golongan?
Siapapun yang menduduki singgasana tersebut, sebaiknya dipilih atas dasar bukan lobi-lobi, tapi obyektif. Benar-benar murni pilihan hati nurani. Tapi masihkah kita bangsa Indonesia memiliki hati nurani? Saya yakin masih. Hati nurani tidak akan pernah hilang, kalau sejenak kita merenung, untuk apakah hidup kita yang sekedar “Mampir Ngombe” ini kalau tidak untuk kebaikan? Untuk menyuarakan hati nurani? Walahualam. Semoga bukan sekedar impian.....



Selesai Juni, 12 2003.
UPW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar