Waktu itu, tulisan ini sebenarnya aku tulis untuk LINGKUNGAN TERBATAS yakni dilingkungan alumni SMA saya dulu (3B Yogyakarta)....Dalam rangka RAKERNAS PADMANABA yang diselenggarakan di Surabaya 4 – 6 Mei 2007 yang lalu......
Tapi karena SIFAT dan ISInya UNIVERSAL... Jadi apa salahnya saya share disini.......
Bagi teman-teman Padmanaba yang kebetulan tidak berkesempatan untuk hadir dalam RAKERNAS waktu itu, inilah salah satu yang kami suguhkan berupa buku kecil yang memuat tulisan-tulisan kami Padmanaba Kompartemen Surabaya. Dan tulisan ini satu diantaranya yang saya cuplik disini....
MENGAPA?
Oleh : Unik Wardhono
Tanpa disadari, kita sering mengeluh, karena kita sudah merasa berusaha, berikhtisar, bekerja mati-matian, tetapi hasilnya jauh dari apa yang kita harapkan..... Maka timbul pertanyaan dibenak kita, atau juga bertanya pada orang-orang dekat disekitar kita ; ”Mengapa”?
Luis Sullivan arsitek besar dari Chicago USA pernah mengatakan :
SETIAP SOAL ATAU PERMASALAHAN SUDAH MENGANDUNG DALAM DIRINYA SENDIRI PENYELESAIAN SOALNYA.
Setiap soal/permasalahan minta jawaban atau solusinya . Dan jawaban atau solusinya sebenarnya sudah tersedia (meski masih terselubung ) didalam soal/permasalahan itu sendiri.
Kesulitan kita biasanya adalah bahwa kita cenderung untuk lebih suka mendengarkan keinginan dan nafsu kita sendiri. Selubung itulah yang paling sulit kita kuak, kita buka dan kita “petani” untuk mendapatkan jawaban/solusinya.
Contoh yang pernah diberikan oleh alm Romo Dipl Ing YB Mangunwijaya. “empu”nya arsitektur Indonesia adalah :
Kita lebih senang menjiplak produk orang lain, tanpa bertanya dulu situasi kondisi yang ada. Lalu kita mulai mendikte harus begini harus begitu.. Terlalu malas bertanya pada alam sekeliling, kepada bahan yang ada potensi atau kemampuan yang mungkin.
Misalnya kehidupan iklim panas lembab diberi jas setelan wool dengan dasi yang mencekik.
Bangunan yang serba rapat. Yang lebih mengandalkan AC. Padahal masih dimungkinkan untuk memanfaakan factor alam, tapi karena mengikuti”nafsu besar” kecenderungan menjiplak kulit luar tanpa memahami esensi yang terkandung didalamnya itulah yang seringkali mengalahkan ”nalar sehat” kita.
Ungkapan contoh yang dikemukakan dua empu besar dibidang disiplin ilmu yang saya tekuni tersebut benarbenar TERPATERI didalam benak saya. Dan itu semua yang senantiasa melandasai pola berpikir saya dalam setiap langkah saya.
Ungkapan tersebut menurut saya sifatnya sangat luwes, universal, bisa dijadikan landasan untuk pemecahan masalah baik permasalahan yang terkecil, hingga masalah-masalah besar yang dihadapi.
Lalu apa pula benang merahnya dengan persoalan-persoalan yang dihadapai oleh organisasi tercinta kita Padmanaba?
Meski belum melakukan penelitian secara akurat, tapi secara (bodon), 95% dari siswa SMAN 3 Yogyakarta ini, minimal berstatus lulusan SMAN. Dari yang 95% lulusan SMAN tersebut masih secara hitungan kasar 80% nya menyelesaikan pendidikannya dijenjang S1 atau sederajad, baik didalam negeri maupun diluar negeri. Dari 80% S1 tersebut yang berhasil karirnya dijenjang Pemerintahan ada ..... % dan sukses dibidang Swasta ada ....%. Dan dari S1 tersebut yang berhasil menyelesaikan kejenjang S2........ %. Dan seterusnya. Dari yang S2 dan meneruskan kejenjang yang lebih tinggi lagi S3 dst.....%.
Dari sekian lulusan Padmanaba, yang berhasil mendapat gelar kehormatan dibidang pendidikan seperti Profesor ....%, spesialisasi lain-lain ...%.
(Saya tidak mau berspekulasi dengan ”NGARANG” angka-angka disitu lebih dalam, karena belum melakukan survey dan penelitian, harapannya Padmanaba Pusat bisa menghimpun data dari para anggautanya untuk dijadikan bahan kajian dan evaluasi yang lebih bisa dipertanggung jawabkan kesahihannya. Disini sifatnya lebih pada garis besar saja)
Dengan perhitungan kasar seperti tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sementara, bahwa alumni Padmanaba rata-rata memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, yang berarti tingkat intelegensianya ada dirata-rata dan diatas rata-rata, yang berarti pula seharusnya bisa mencerna segala permasalahan dengan kacamata INTELEKTUAL. Lebih akurat, lebih bertanggung jawab.
Paparan-paparan dari para alumni saat sarasehan di Jakarta bagus-bagus sekali.........alangkah bahagianya jika apa yang sudah diwacanakan tersebut betul-betul bisa direalisir. . PADMANABA pasti akan BANGGA sekali..Jika bisa bicara pasti akan mengatakan Terimakasih....terimakasih.... sambil tersenyum simpul....
Untuk itulah maka dalam kesempatan ini saya hanya sedikit menambahkan apa yang sudah dipaparkan oleh para alumni sebelumnya,. Yakni mengajak seluruh alumni Padmanaba, untuk selalu memandang semua permasalahan yang dihadapi dengan cara MENDASAR. Kita cari AKAR PERMASALAHAN kemudian baru menyelesaikan nya. Bukan hanya melihat dari kulit luar atau bajunya.. .........
Karena fenomena yang ada dinegeri kita beberapa puluh tahun belakang ini adalah melihat permasalahan dari kulit/permukaannya, yang tentunya menyelesaikannyapun dengan cara sepotong, sepotong, tidak menyeluruh/COMPREHENSHIP.
Implementasi penyelesaian boleh BERTAHAP, dengan catatan bahwa kita sudah mengetahui permasalahan dan penyelesaiannya secara COMPREHENSHIP. Hanya PELAKSANAAN/Implementasi karena kendala satu dan lain hal maka memang perlu tahapan sesuai prioritas. Implementasi bisa dibagi menjadi jangka pendek, sedang dan panjang.
Lalu contoh konkritnya apa?
Contoh pertama berikut ini adalah melihat permasalahan hanya dipermukaannya saja, tanpa mau menyelidiki lebih dahulu.
Pernah dalam suatu pertemuan REUNI dengan teman-teman Arsitektur SAK ANGKATAN. Salah seorang teman mengeluhkan tentang anaknya yang kebetulan menjadi salah satu siswa SMAN 3 Yogyakarta yang mendapat tugas mewakili Sekolah untuk mengikuti lomba IPTEK Tingkat Nasional yang diselenggarakan disuatu kota X Teman saya tersebut mengeluhkan, bahwasanya, anaknya tidak secuilpun dibekali baik material berupa ilmu maupun finasiial dari pihak sekolahan.Dia pontang – panting sendiri menyiapkan segala sesuatunya.
Teman saya tersebut curhat kesaya katanya :”Sekarang 3B tambah merosot, tidak seperti dulu. Anak saya mewakili sekolah untuk lomba IPTEK tapi tidak dibekali apapun dari Sekolah.”
Pertanyaan saya pada teman saya tersebut singkat :”Kenapa kamu bisa mengatakan tambah merosot? Apa kamu sudah pernah menanyakan pada peserta-peserta wakil 3B sebelumnya anakmu yang pernah mengikuti lomba semacam itu?” ”Apa mereka dulu juga difasilitasi sekolahan?”
Jawab teman saya :”Ya belum.”
Sayapun menanggapi :”Kalau belum, berarti kamu tidak bisa menyimpulkan bahwa 3B tambah merosot. Kalau tidak ada kemajuan alias MANDEG alias STAGNANT mungkin lebih tepat. Karena bisa jadi yang dulu-dulupun juga bernasib sama dengan anakmu.”
”Betul juga ya katamu......... ”kata teman saya.........
Contoh kedua :
Ada teman Padmanaba kita lainnya lagi yang sangat IDEALIS. Kritis, amat sangat concern, awareness, peduli banget terhadap situasi dan kondisi pendidikan bangsa ini pada umumnya, dan pola pendidikan dialmamater kita saat ini khususnya. Beliau sempat ngomel-ngomel tidak karuan, setengah NGAMUK dan MUTUNG. karena usaha kerasnya menjalin networking Padmanaba dengan pihak Luar Negeri demi kemajuan dan perkembangan Pendidikan dilingkungan 3B yang sebetulnya sudah berhasil mendapat RESPON BAIK dari pihak Luar Negeri. TIDAK ditanggapi blas alias TIDAK DIRESPONS BALIK dari pihak sekolah almamater kita......
Sambil sedikit mlipir-mlipir (maklum dulur tuwo takut kuwalat) saya katakan kepada beliaunya........ ”Apa mas sudah tahu betul SITUASI, KONDISI, yang sebenar-benar nya dari sekolah kita sekarang?””Bisa jadi itu ibarat memberikan LAPTOP pada anggauta DPR yang GAPTEK dan memang tidak kepengin belajar jalankan laptop.......Apa tidak seharusnya dijajagi dulu kondisi disana....?”Kemudian baru dilakukan beberapa tahapan penyelesaiannya......
Niat baik saudara, teman kita tersebut luar biasa mulianya. Tapi menjadi sia-sia adanya, jika tidak ada timbal balik, yakni respon yang seimbang dengan pihak yang diperjuangkan.Merubah behaviour manusia yang sudah terlanjur melekat bertahun-tahun, tidaklah semudah belajar komputer, bisa jadi lebih sulit dari ALJABAR nya almarhum pak Paham, bapak guru yang sangat kita hormati . Perlu waktu, perlu kesabaran.
Ini tentunya bisa dijadikan contoh untuk persoalan-persoalan lainnya, yang sampai kini belum terpecahkan.
Apa artinya usulan yang MULUK-MULUK kalau semuanya hanya tinggal WACANA belaka.......
Tetty Kady pernah berangan-angan menyanyikan lagu rame-rame..... PERGI KEBULAN... Yang nampaknya sangat MULUK tersebut. Dan siapa pula yang memberi jawabnya? Neil Amstrong yang telah berhasil mendaratkan apollonya dibulan. Bukan putera bangsa kita tetapi bangsa lain. Bahkan Pratiwi sang astronot kitapun akhirnya kandas ditengah jalan.
”Raihlah cita-citamu setinggi bintang” kata Bung Karno waktu itu setiap dia berpidato. Disampaikannya dengan berapi-api.....
Habibi berhasil dengan MONTOR MABURnya yang sudah dibayar dengan berkarung-karung kedele. Apa tidak tragis? Negara kita yang tanahnya luas dan subur, yang seharusnya bisa memproduksi hasil pertanian dengan melimpah ruah diJEJALI TEKNOLOGI yang saat itu BELUM TEPAT atau bahkan TIDAK TEPAT jika diterapkan dinegara kita. Kenapa bukan TEKNOLOGI untuk mengembangkan PERTANIAN saja? Itulah kalau tidak mau MILANG-MILING terhadap lingkungan sekitar. Buktinya mana? Makmurkah negara ini dengan ,MONTOR MABUR yang dihasilkan tersebut?
Coba kalau Teknologi dulu diarahkan kesektor Pertanian yang paling potensial dinegeri tercinta ini? Saya pribadi yakin seyakin-yakinnya, jika itu dilakukan, maka kita semua alumnus Padmanaba kini pasti masing-masing sudah memiliki sebuah helikopter digarasi rumahnya, berdampingan dengan beberapa jaguar.
Jepang Korea memang meNJIPLAK keberhasilan Industri Barat. Coba kita perhatikan disekitar kita?. Mana yang lebih dominan? Kendaraan bermotor darat kita lebih didominasi buatan negara Barat atau Jepang, Korea dan China?
Mereka meNJIPLAK, tidak asal menjiplak. Mereka sinkronkan dengan kondisi negaranya. Masyarakatnya mau diajak untuk maju. Semangat juang masyarakatnya tinggi karena motivasi yang diberikan oleh para Petinggi negaranya dibarengi oleh SIKAP dan prilaku yang imbang dari petingginya sendiri. . Petingginya mau ikut sengsara tatkala masyarakatnya masih sengsara. DPRnya mau jadi kere saat rakyatnya masih kere.
Mereka berjuang bareng, kompak, betul-betul GUYUB dalam arti yang sesungguhnya. Bukan sekedar LIP SERVICE. Petingginya benar-benar merengkuh rakyatnya. Membantu rakyat yang terseok-seok untuk berdiri tegak.
Bagaimana kalau kita mencoba jadikan PADMANABA sebagai MINIATUR nya negara-negara yang dulunya MELARAT, BODOH kemudian menjadi negara maju?
Kalau sudah berikhtisar tapi belum juga berhasil.... nah itu sudah CAMPUR TANGAN Tuhan.......
Surabaya, 16 April 07
Unik Wardhono
Minggu, 22 Februari 2009
Sabtu, 21 Februari 2009
RODA 2 SANG RAJA JALANAN

SEPEDA MOTOR SANG RAJA JALANAN
SEPEDA MOTOR, EFFEKTIF, EFFISIEN, IDOLA
SEKALIGUS MEMBAHAYAKAN .
Saya tersenyum kecut, saat anak sulung saya laki-laki melontarkan keinginannya yang sudah lama terpendam, untuk memiliki sepeda motor. “Lebih murah, irit BBM, dan kalau diboncengi cewek alias sang pacar lebih mesra karena dipeluk dari belakang” demikian penjelasannya, saat saya tanyakan alasannya. Padahal dia sudah dibelikan ayahnya, mobil untuk sarana transportasinya. Demikian juga dengan adiknya, anak bungsu saya yang laki-lakipun memiliki keinginan yang sama. Alasannya agak beda dengan kakaknya :”Lebih praktis, kalau kerumah teman yang harus masuk gang. Cukup mudah, irit dan fleksible.”
Bagaimana tidak tersenyum kecut? Yang namanya sepeda motor, memanglah banyak punya kelebihan dibanding kendaraan lain, sekalipun kendaraan pribadi seperti mobil.Lebih praktis, irit, fleksibel, ringkas, dibawa kemanapun ayo. Bahkan di negeri tercinta ini, Kendaraan ini cukup lincah, gesit dan “multifungsi” . Bagaimana tidak? Dinegeri ini, benda ajaib ini bisa mengangkut manusia satu keluarga, terdiri dari bapak, ibu, anak dua orang, sekaligus membawa barang-barang bawaan. Belum lagi, kendaraan ini bahkan pernah dipergunakan untuk membawa almari. Betul-betul luar biasa. Masuk kelorong gelap, kepuncak bukit, semua bisa ditempuh. Perampokpun lebih senang menggunakannya. Dalam waktu sekian detik dengan mengendarai kendaraan ini, perampok bisa menghasilkan puluhan juta rupiah, bahkan bisa lebih Dengan difasilitasi benda tajam kecil dan selubung helm teropong dan mengganti nomor polisi kendaraan begitu leluasa sudah para perampok tersebut menjalankan aksinya, dimana saja, kapan saja.
Meskipun kondisi ini sudah lama cukup memprihatinkan karena semakin hari kecelakaan akibat mengendarai sepeda motor, perampokan dan pencurian dengan dan sepeda motor itu sendiri semakin meningkat, Tetapi penertiban melalui Undang Undang keLaluLintasan baru akan kembali diseriusi dibenahi atau diremajakan kembali
Untuk lebih mengefektifkan Undang-Undang yang akan diberlakukan, memang sebaiknya sebelum membuat beberapa alternatip solusi tentang kendaraan bermotor khususnya sepeda motor , hendaknya beberapa hal perlu dicermati untuk kemudian ditelaah, dan dievaluasi terlebih dahulu.
Beberapa hal yang nampaknya sangat signifikan antara lain adalah pelaku utamanya, yakni perilaku manusia pengendara sepeda motor itu sendiri, spesifikasi dari kendaraan, regulasi , sosialisasi dalam hal persepeda motoran, ketegasan pemerintah dalam pengawasan, dan sangsi yang sudah diberlakukan selama ini.
Pertama kali perlu dipertanyakan.Kenapa banyak orang memiliki kecenderungan ingin naik sepeda motor? Meski belum secara rinci dilakukan penelitian dari penulis, tetapi dari sekedar bertanya pada beberapa teman dan orang-orang yang mengendarai sepeda motor, maka pada umumnya mengatakan bahwasanya sepeda motor lebih ringkas, praktis, murah dibanding naik bemo, bis, taxi, kendaraan umum lainnya dan mobil. Apalagi satu kendaraan masih bisa mengangkut satu keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, anak, bahkan kadang bisa sampai 2 atau 3 orang. Masuk gang-gang kecil juga oke. Bagi golongan muda, khususnya yang laki-laki merasa enjoy dan asyik kalau diboncengi cewek (pacarnya) lebih mesra karena dipeluk.
Salah satu fakta, suami saya sebenarnya lebih senang mengendarai sepeda motor, dibandingkan mengendarai mobil. Demikian juga yang dikemukakan dua anak laki – laki saya yang kepengin sekali dibelikan sepeda motor, sebagaimana saya kemukakan diatas. Bagi pengendara laki-laki khususnya, kendaraan roda dua ini juga lebih berkesan “jantan”. Apalagi kalau untuk ngepot ditikungan, kayak jago balap saja layaknya.
Meskipun demikian, berdasar pertimbangan cukup riskan mengendarai sepeda motor (mudah dicuri, mudah ditodong, mudah kecelakaan) sampai saat ini anak saya belum saya belikan alias masih saya pending.
Daya tarik yang lainnya, sepeda motor juga bisa dikendarai keluar kota. Perkembangan terakhir, hanya dengan uang muka 500 ribu, sudah bisa membawa pulang sepeda motor. Dan dibeberapa kreditor sepedamotor, ada yang memberlakukan kalau tidak bisa melunasi, cukup mengembalikan sepeda motor itu saja. Nah bisa untuk pamer sekilas pada cewek matrek kan? Yang cukup fatal dan memprihatinkan, jenis kendaraan ini juga sangat diminati perampok, karena dinilai lebih gesit dan mudah menghilangkan jejak
Dari sisi regulasi , pemakaian helm standar juga belum diberlakukan dengan ketat. Padahal kalau mau dirunut lebih jauh pada sekitar tahun 1989, saya pernah ikut dalam penelitian, sosialsisasi tentang penggunaan helm bagi pengendara baik yang mengendarai maupun yang dibonceng sepeda motor. Waktu itu penelitian dilakukan atas kerjasama antara Universitas Kadiri (UNIK) Kediri dengan Kepolisian Kabupaten Kediri Jawa Timur, dan dilaksanakan diKediri. Realitanya, sampai detik ini, hampir 18 belas tahun berlalu, perubahannya belum signifant. Pengendara, apalagi yang dibonceng masih banyak yang tidak menggunakan helm, apalagi yang standar.
Belum lagi pelanggaran –pelanggaran yang dilakukan . Seperti mengendarai lebih dari dua orang dalam satu kendaraan, membonceng atau bahkan mengendara dengan membawa barang-barang atau muatan yang tidak lajim, sehingga menghalang-halangi pengendara dibelakangnya. Pengendara masih banyak yang nyambi dengan menelepun atau menulis sms dengan telepun selulernya, Hal ini tentunya sangat membahayakan bagi dirinya sendiri maupun pengendara lain. Inipun juga belum ada tindakan dari aparat.
Nah dengan adanya kecenderungan tadi, maka tidaklah heran kalau jalan raya di Surabaya khususnya, menjadi sangat marak oleh kendaraan sepeda motor tadi.
Lalu, siapa pula yang diuntungkan oleh maraknya “peminat” sepeda motor tadi?Tentunya akan mengaitkan banyak pihak. Yang antara lain adalah :
- perusahaan atau produsen sepeda motor dengan seluruh lini-lininya, termasuk
para penjual onderdil , pencuci dan bengkel sepeda motor.,
- penjual asesori dan helm ( baik yang standar maupun yang ciduk mandi),
- pemungut pajak. (bisa dijadikan pemasukan pendapatan daerah dan lin - lian).
Termasuk kepolisian (Kepengurusan BPKB, STNK,SIM dan lain-lain),
- pengguna sepeda motor,
- para makelar-makelar sepeda motor dan pembelinya, karena bisa membeli
dengan lebih terjangkau.
Lalu, siapa pula yang dirugikan? Fakta yang saya alami, memang kadang-kadang sebagai pengemudi mobil, sering dibuat jengkel oleh ulah para pengguna sepeda motor dijalan. Karena kadang sliat sliut menyalip dari sisi kiri maupun kanan secara mendadak yang cukup kencang. Dan apabila mereka yang menyerempet mobil, justru pengendara mobil yang umumnya kena sangsi yang cukup berat. Selain harus memperbaiki kendaraan sendiri yang terserempet, juga harus ikut menanggung pengobatan dan memperbaiki sepeda motor sipenyerempet. Tapi disisi lain, tidak jarang pula, saya merasa diuntungkan, kalau bertepatan disebuah putaran/ u turn, jika mau putar balik, justru saya seringkali ikut diseberangkan oleh sekelompok sepeda motor yang ada didepan saya yang sama-sama mau belok juga.
Lalu, dari maraknya pengguna sepeda motor tadi akhirnya menimbulkan permasalahan yang cukup significant dijalan raya. Pelanggaran banyak dilakukan. Mayoritas, kecelakaan di jalan raya menimpa pengguna sepeda motor (data terakhir menyebutkan kecelakaan jalan raya yang didominasi sepeda motor ada 30.000 kejadian/tahun ) Tapi belum diperjelas dengan rincian data akurat tentang kejadian kecelakaan tersebut apakah sekedar lecet atau sampai meninggal dunia, dominasi pengendara laki-laki atau perempuan ).
Lalu, pertanyaan selanjutnya , mengapa terjadi banyak pelanggaran dan kecelakaan?
Semakin banyak pelaku, semakin heterogen pula prilaku mereka. (Ibaratnya, semakin banyak anak dalam lingkup kecil keluarga, maka akan semakin beragam tingkah polah mereka).Ada yang emosinya tak terkendali, ngebut ditengah kota, ngepot ditempat yang tidak semestinya, berboncengan melebihi kapasitas, tidak pakai helm standar dengan klik yang benar, bahkan kadang2 showofforse mengendara sambil berdiri pada tempat yang tidak seharusnya, membuka paksa jomplangan ka yang sudah ditutup,membunyikan klakson yang bukan standar sehingga bisa mengejutkan pengendara lain, dreyer-dreyer yang membisingkan telinga dan mengganggu ketenangan orang lain, membawa bawaan yang melebihi kapasitas, bahkan kadang2 membahayakan pengendara lain (misalnya bawa lonjoran besi, belanjaan yang banyak dan lain-lain).
Lalu kalau ditelaah dari sisi bahayanya naik sepeda motor, maka harus dipelajari pula fisik dari sepeda motor itu sendiri yang antara lain : - struktur dari sepeda motor dengan berbagai modifikasinya, menjadikan tidak stabilnya kendaraan itu sendiri. (Rodanya hanya dua , - kestabilan perlu dijaga benar oleh pengendaranya) untuk menghindari oleng, - jalur jalan yang dilalui, kadangkala tidak mendukung., jalanan berlubang, kesemrawutan dan saling berhimpitan dengan kendaraan lain, baik sesama sepeda motor ataupun jenis kendaraan lain. yang saling dahulu mendahului, lain - lain
Dari beberapa hal tersebut diatas, maka tentunya akan timbul pertanyaan. Terus bagaimana, apa solusi atau JAMU yang MUJARAB untuk menanggulangi masalah tersebut?
- kalau memberantas pedagangnya, atau membatasi ,akan mematikan sumber2
penghasilan banyak pihak.
- kalau menertibkan pengguna, katakanlah dengan helm standar, mayoritas pengguna
akan keberatan dengan alasan mahal. belum lagi helm standar untuk anak-anak
balita dan bayi, juga ibu2 sanggulan belum ada.
- kalau diberi jalur khusus, untuk kawasan seperti raya Darmo sepertinya sulit.
Disamping lebar jalan yang sudah tidak memungkinkan, juga mahal banget.
Lalu?
Akhirnya semua kembali kepada tingkat MORAL dan budaya masing-masing pribadi dan masyarakat terkait. Dengan jumlah pengendara yang semakin melimpah detik demi detik (data penjualan sepeda motor perhari ribuan bahkan juataan), maka dengan keterbatasan jumlah aparat kepolisian maka “impossible” untuk menertibkannya, tanpa dibantu “kesadaran” masyarakat bersangkutan.
Namun demikian, penertiban oleh aparat kepolisian harus tetap dilakukan, tanpa kenal lelah. Sedikit demi sedikit sangsi lebih ditingkatkan lagi, misalnya dengan pemakaian helm standar yang benar (dikancingkan yang benar), juga sabuk pengaman, jalan-jalan diperbaiki, marka-marka jalan dipertegas.
Secara pribadi, saya punya kepercayaan. Bahwa “kematian” atau “nasib” kita ada dua pilihan : Pertama, kematian atas Kehendak atau Ridlo dari Tuhan YME, dan satu lagi oleh Godaan Setan yang sebenarnya Tidak diRidloi Tuhan YME . Contoh konkrit kematian yang disebabkan oleh “godaan setan” atau “Keberhasilan Setan” adalah : orang yang meninggal tertabrak kereta api, dimana sewaktu pintu kereta sudah tertutup tapi tetap saja mencoba/nekad untuk membuka paksa.
Sebaliknya, orang yang meninggal karena Ridlo Allah adalah orang yang sudah berhati-hati , berupaya menjaga kesehatannya tetap saja mati. Termasuk sudah berhati-hati mengendarai sepeda motor, mengikuti jalurnya, tapi tetap saja kecelakaan.
Nah kalau sudah bicara masalah “moral” dan “budaya”, maka waktu pembelajarannyapun nampaknya perlu waktu lama, tapi tetap dilakukan. Dan tidak boleh berhenti. Harus terus menerus. Dan yang lebih ampuh ya kita kembalikan lagi kepada “Diri Sendiri”. Tanpa ada kesadaran dan kemauan dari diri sendiri maka sangat sulit untuk dapat merubahnya.
Kesimpulannya, untuk mengatasi problema transportasi yang berkaitan dengan
masalah sepeda motor, maka sebaiknya didisain menjadi tiga bagian, yakni penanggulangan jangka pendek, menengah dan panjang. Untuk jangka pendek maka beberapa hal yang perlu diprogramkan antara lain :
- kanalisasi tetap dijalankan (hasilnya sudah lumayan. Surabaya lebih terrtib
dibanding Jogja (ini titipan komentar anak saya). Ini termasuk pembelaja
ran yang terus-menerus kepada masyarakat akan pentingnya kedisiplinan.
- jalur sepeda motor atau jalan – jalan rusak berlubang segera diperbaiki.
- penertiban dan pemberlakuan aturan yang benar dalam pembuatan SIM antara
lain :
- anak dibawah usia yang sudah ditetapkan tidak diperkenankan membuat/mem
punyai SIM, dan mengendarai kendaraan bermotor. Dalam hal ini
tentunya peranan orang tua juga sangat dibutuhkan untuk ikut mengawasi
dan mendisiplinkan putera puterinya.
- bagi pemohon SIM baru harus melakukan ujian praktek dilapangan selain
teori.
- bagi yang karena satu dan lain hal (beberapa kali melakukan pelanggaran
dijalan raya sehingga SIM nya harus ditahan), diwajibkan ujian teori
dan praktek ulang untuk mendapatkan SIM.
- hanya yang kredibilitasnya baik saja, yang boleh memperpanjang SIM
melalui calo. (yang tidak pernah bermasalah saja).
- sejak dini, disekolah-sekolah (mulai pra TK) sudah mulai diperkenalkan
disiplin berlalu lintas. Baik cara berjalan kaki, menyeberang ditempat
yang benar, apalagi berkendaraan.
- secara rutin (waktunya diubah-ubah) dilakukan razzia SIM,STNK,ditambah
KTP
- secara rutin dilakukan razzia untuk sekolah-sekolah dibawah usia layak
mengendarai kendaraan bermotor.
- dilakukan sosialisasi pengetahuan berlalu lintas yang benar melalui
iklan-iklan pelayanan masyarakat, bisa melalui media televise, radio,
Koran dan lain –lain.
(Ditulis oleh Uniek Wardhono pada awal Januari 2004 )
Minggu, 15 Februari 2009
MENUJU SINGGASANA ......
MENUJU SINGGASANA WALIKOTA ATAU BUPATI
Kalau jabatan Walikota atau Bupati diibaratkan raja didalam istana, Maka perebutan kursi Walikota atau Bupati didalam Lingkungan Kota/Kabupaten bisa disamakan dengan memperebutkan singgasana.
Apabila dikaji secara benar, jabatan Walikota atau Bupati tidaklah seenak dan segampang yang dibayangkan. Ini tentu saja apabila yang dikerjakan seorang Walikota atau Bupati benar-benar memikirkan pengembangan dan kemajuan kota/kabupaten secara keseluruhan. Meliputi mutu dan kualitas masyarakatnya, sumber daya masyarakatnya, kesejahteraan seluruh masyarakatnya. Dan bukan sekedar untuk gengsi-gengsian atau untuk memperkaya diri apalagi demi ambisi dan kepentingan sekelompok orang atau golongan tertentu.
Bagaimana bisa enak? Dilingkup kerjanya, dilingkungan para birokrat, kaum intelektual dan masyarakatnya, seorang Walikota atau Bupati bukanlah sebagaimana seorang atasan terhadap bawahannya, Jabatan tersebut sifatnya sementara politis dan bisa kembali lagi menjadi masyarakat biasa biasa, demikian sebaliknya. Bahkan seorang Walikota atau Bupati harus siap menjadi “abdi” atau “pelayan” masyarakat. Harus siap dua puluh empat jam bahkan kalau bisa lebih untuk melayani kepentingan rakyat banyak.Tanggung jawabnyapun cukup besar atas keberlangsungan, dan mutu dari seluruh masyarakat yang ada dibawah naungannya.
Untuk kota atau kabupaten yang lingkupnya cukup luas dan yang usianya tidak muda lagi, akan menghadapi multi kepentingan didalam hal mengendalikan masyarakatnya , Dari kaum intelektual , sesepuh kota, pengusaha hingga pengemudi becak, dimana tuntutan masing-masing tentunya akan sangat beragam.Pendapat-pendapat mereka selalu ingin didengar, untuk kemudian ditindak lanjuti dengan implementasinya
Lalu, kenapa jabatan ini banyak diributkan dan diperebutkan? Apakah karena dengan menduduki jabatan ini, maka diharapkan disediakannya sarana dan prasarana atau fasilitas yang dapat dipergunakan untuk kepentingan pribadi? Atau apakah karena akan mendapatkan fulus-fulus yang salurannya lebih banyak? Atau dapat memaksakan kehendak pribadi atau kelompok kepada khususnya yang dianggap pesaingnya?
Berbagai cara ditempuh, sebagaimana partai politik yang mengkampanyekan partainya supaya menjadi pemenang pemilu. Team sukses dibentuk. Biaya yang kadang tidak kecil dikeluarkan. Rapat-rapat “gelap” perkelompok diam-diam diselenggarakan. Bisik-bisik dan omongan-omongan saling menjatuhkan yang dianggap rifalnya ditiupkan. Saling pengaruh-mempengaruhi. Psy War pun menjadi semakin panas dan semakin marak. Demikian juga masing-masing calon diam-diam melobi-lobi, bernegosiasi kepihak-pihak yang memungkinkan untuk bisa memberikan dukungan suaranya. Handphone-handphone bertralala trilili sebagai alat komunikasi yang paling praktis dan cepat yang bisa diandalkan.
Walau cara-cara tersebut dianggap kurang fair, dianggap curang, toh tetap berjalan juga. Banyak yang mengatakan bahwa cara-cara seperti itu kurang dapat dipertanggung jawabkan, karena terbukti besar dampak kerugiannya.
Bagaimana tidak? Mencalonkan diri dapat dibedakan menjadi dua, yakni mencalonkan diri (aktif) dengan ambisi yang cukup besar dan yang satu lagi (pasif) adalah sekedar memenuhi haknya , tetapi bukan berarti dia tidak siap apabila terpilih. Dua kategori tersebut jelas berbeda. Bagi yang mencalonkan diri (aktif) maka otomatis dia akan mencari dukungan, untuk mendapatkan singgasana tersebut, bahkan dengan menghalalkan segala cara, sebagaimana yang disebutkan diatas. Sedangkan bagi yang mencalonkan diri (pasif), maka dia tidak akan mencari-cari dukungan atau melobi-lobi sebagaimana yang aktif. Dia mengharapkan dukungan yang murni, bukan atas dasar paksaan, janji-janji ataupun iming-iming kalau yang besangkutan berhasil menduduki singgasana.
Bagi kategori kedua, merasa, bahwa tanggung jawab dikemudian hari sudah cukup besar. Waktu, tenaga dan pikiran lah yang akan dijadikan kompensasi atau imbalan jasa bagi seluruh warga masyarakat yang telah memilih dan mendukungnya. Tak terkecuali yang tidak memilihnya. Dia lebih memfokuskan diri bukan kepada bagaimana membalas budi pada Team Suksesnya yang berarti hanya pada sekelumit atau sebagian masyarakat, tetapi bagaimana mengajak seluruh sumber daya manusia yang ada dikotanya untuk bersama-sama saling bahu membahu, bergandengan tangan menciptakan kesejahteraan, keguyuban, keharmonisan dan kemajuan bersama. Bersama-sama mewujudkan impian yang sudah disepakati bersama. Dia lebih setuju, kalau jabatan seorang Walikota atau Bupati itu tidak atau bukan untuk menduduki singgasana, kursi yang megah dan empuk. Tetapi jabatan tersebut bahkan jabatan-jabatan yang lainnyapun mestinya adalah untuk memangku jabatan, yang berarti memangku tanggung jawab. Karena dengan memangku, maka seseorang akan merasa, bahwa dia harus siap capai, siap memberikan rasa nyaman bagi yang dipangku, lebih berhati-hati, senantiasa menjaga keseimbangan, tidak berat sebelah supaya yang dipangku tidak jatuh,
Kalau sampai kini saja sudah diciptakan iklim persaingan yang tidak obyektif oleh para seniornya, lalu apa yang akan terjadi pada generasi muda yang akan datang? Bagaimana negara atau bangsa kita akan dididik menjadi lebih berpikiran obyektif ? Bebas dari KKN? Bebas dari lebih menomor satukan kepentingan pribadi atau golongan?
Siapapun yang menduduki singgasana tersebut, sebaiknya dipilih atas dasar bukan lobi-lobi, tapi obyektif. Benar-benar murni pilihan hati nurani. Tapi masihkah kita bangsa Indonesia memiliki hati nurani? Saya yakin masih. Hati nurani tidak akan pernah hilang, kalau sejenak kita merenung, untuk apakah hidup kita yang sekedar “Mampir Ngombe” ini kalau tidak untuk kebaikan? Untuk menyuarakan hati nurani? Walahualam. Semoga bukan sekedar impian.....
Selesai Juni, 12 2003.
UPW
Kalau jabatan Walikota atau Bupati diibaratkan raja didalam istana, Maka perebutan kursi Walikota atau Bupati didalam Lingkungan Kota/Kabupaten bisa disamakan dengan memperebutkan singgasana.
Apabila dikaji secara benar, jabatan Walikota atau Bupati tidaklah seenak dan segampang yang dibayangkan. Ini tentu saja apabila yang dikerjakan seorang Walikota atau Bupati benar-benar memikirkan pengembangan dan kemajuan kota/kabupaten secara keseluruhan. Meliputi mutu dan kualitas masyarakatnya, sumber daya masyarakatnya, kesejahteraan seluruh masyarakatnya. Dan bukan sekedar untuk gengsi-gengsian atau untuk memperkaya diri apalagi demi ambisi dan kepentingan sekelompok orang atau golongan tertentu.
Bagaimana bisa enak? Dilingkup kerjanya, dilingkungan para birokrat, kaum intelektual dan masyarakatnya, seorang Walikota atau Bupati bukanlah sebagaimana seorang atasan terhadap bawahannya, Jabatan tersebut sifatnya sementara politis dan bisa kembali lagi menjadi masyarakat biasa biasa, demikian sebaliknya. Bahkan seorang Walikota atau Bupati harus siap menjadi “abdi” atau “pelayan” masyarakat. Harus siap dua puluh empat jam bahkan kalau bisa lebih untuk melayani kepentingan rakyat banyak.Tanggung jawabnyapun cukup besar atas keberlangsungan, dan mutu dari seluruh masyarakat yang ada dibawah naungannya.
Untuk kota atau kabupaten yang lingkupnya cukup luas dan yang usianya tidak muda lagi, akan menghadapi multi kepentingan didalam hal mengendalikan masyarakatnya , Dari kaum intelektual , sesepuh kota, pengusaha hingga pengemudi becak, dimana tuntutan masing-masing tentunya akan sangat beragam.Pendapat-pendapat mereka selalu ingin didengar, untuk kemudian ditindak lanjuti dengan implementasinya
Lalu, kenapa jabatan ini banyak diributkan dan diperebutkan? Apakah karena dengan menduduki jabatan ini, maka diharapkan disediakannya sarana dan prasarana atau fasilitas yang dapat dipergunakan untuk kepentingan pribadi? Atau apakah karena akan mendapatkan fulus-fulus yang salurannya lebih banyak? Atau dapat memaksakan kehendak pribadi atau kelompok kepada khususnya yang dianggap pesaingnya?
Berbagai cara ditempuh, sebagaimana partai politik yang mengkampanyekan partainya supaya menjadi pemenang pemilu. Team sukses dibentuk. Biaya yang kadang tidak kecil dikeluarkan. Rapat-rapat “gelap” perkelompok diam-diam diselenggarakan. Bisik-bisik dan omongan-omongan saling menjatuhkan yang dianggap rifalnya ditiupkan. Saling pengaruh-mempengaruhi. Psy War pun menjadi semakin panas dan semakin marak. Demikian juga masing-masing calon diam-diam melobi-lobi, bernegosiasi kepihak-pihak yang memungkinkan untuk bisa memberikan dukungan suaranya. Handphone-handphone bertralala trilili sebagai alat komunikasi yang paling praktis dan cepat yang bisa diandalkan.
Walau cara-cara tersebut dianggap kurang fair, dianggap curang, toh tetap berjalan juga. Banyak yang mengatakan bahwa cara-cara seperti itu kurang dapat dipertanggung jawabkan, karena terbukti besar dampak kerugiannya.
Bagaimana tidak? Mencalonkan diri dapat dibedakan menjadi dua, yakni mencalonkan diri (aktif) dengan ambisi yang cukup besar dan yang satu lagi (pasif) adalah sekedar memenuhi haknya , tetapi bukan berarti dia tidak siap apabila terpilih. Dua kategori tersebut jelas berbeda. Bagi yang mencalonkan diri (aktif) maka otomatis dia akan mencari dukungan, untuk mendapatkan singgasana tersebut, bahkan dengan menghalalkan segala cara, sebagaimana yang disebutkan diatas. Sedangkan bagi yang mencalonkan diri (pasif), maka dia tidak akan mencari-cari dukungan atau melobi-lobi sebagaimana yang aktif. Dia mengharapkan dukungan yang murni, bukan atas dasar paksaan, janji-janji ataupun iming-iming kalau yang besangkutan berhasil menduduki singgasana.
Bagi kategori kedua, merasa, bahwa tanggung jawab dikemudian hari sudah cukup besar. Waktu, tenaga dan pikiran lah yang akan dijadikan kompensasi atau imbalan jasa bagi seluruh warga masyarakat yang telah memilih dan mendukungnya. Tak terkecuali yang tidak memilihnya. Dia lebih memfokuskan diri bukan kepada bagaimana membalas budi pada Team Suksesnya yang berarti hanya pada sekelumit atau sebagian masyarakat, tetapi bagaimana mengajak seluruh sumber daya manusia yang ada dikotanya untuk bersama-sama saling bahu membahu, bergandengan tangan menciptakan kesejahteraan, keguyuban, keharmonisan dan kemajuan bersama. Bersama-sama mewujudkan impian yang sudah disepakati bersama. Dia lebih setuju, kalau jabatan seorang Walikota atau Bupati itu tidak atau bukan untuk menduduki singgasana, kursi yang megah dan empuk. Tetapi jabatan tersebut bahkan jabatan-jabatan yang lainnyapun mestinya adalah untuk memangku jabatan, yang berarti memangku tanggung jawab. Karena dengan memangku, maka seseorang akan merasa, bahwa dia harus siap capai, siap memberikan rasa nyaman bagi yang dipangku, lebih berhati-hati, senantiasa menjaga keseimbangan, tidak berat sebelah supaya yang dipangku tidak jatuh,
Kalau sampai kini saja sudah diciptakan iklim persaingan yang tidak obyektif oleh para seniornya, lalu apa yang akan terjadi pada generasi muda yang akan datang? Bagaimana negara atau bangsa kita akan dididik menjadi lebih berpikiran obyektif ? Bebas dari KKN? Bebas dari lebih menomor satukan kepentingan pribadi atau golongan?
Siapapun yang menduduki singgasana tersebut, sebaiknya dipilih atas dasar bukan lobi-lobi, tapi obyektif. Benar-benar murni pilihan hati nurani. Tapi masihkah kita bangsa Indonesia memiliki hati nurani? Saya yakin masih. Hati nurani tidak akan pernah hilang, kalau sejenak kita merenung, untuk apakah hidup kita yang sekedar “Mampir Ngombe” ini kalau tidak untuk kebaikan? Untuk menyuarakan hati nurani? Walahualam. Semoga bukan sekedar impian.....
Selesai Juni, 12 2003.
UPW
Langganan:
Postingan (Atom)