
ala PASAR TRADISIONAL?
Yang TRADISIONAL dan KONVENSIONAL TIDAK semuanya JELEK...Semua tergantung KONTEKnya
Lagi-lagi, mumpung ketemu, aku dan kakak perempuanku NGOBROL-NGOBROL.
Kakak perempuan yang dokter gigi (blas bukan politisi), yang saya kira tidak peduli dengan TETEK BENGEK soal politik dan masalah NEGERI TERCINTA ini., ternyata KOMENTAR-KOMENTAR nya cukup KEREN juga…..
Dia bilang :”Wah INVESTASI RUMAH TINGGAL, khususnya di Jogja benar-benar RUAR BIASA…. Naiknya cepet banget. Dulu harga rumah ratusan juta udah dirasa tinggi. Sekarang sudah milyaran… dan sebentar lagi pasti trilyunan juga ga kerasa.”
Sayapun menjawab:”Itulah NEGERI TERCINTA....... beberapa tahun yang lalu, saya masih sempet ngerasain untuk keluarga kecil belanja sehari-hari cukup dua ribu repes.... terus naik menjadi lima ribu...terus naik lagi naik lagi... sampai tak terhingga....” Padahal di Negara maju, dari tahun ketahun, NILAI ”RUPIAH” mereka STABIL....Harga-harga yang dulu misalnya $10 , sampai detik inipun juga tetep saja segitu..... Nilai uang mereka kalau toh turun ya KUECIL banget.....” ”itulah NEGARA BERKEMBANG” kataku ...
Kakakkupun dengan KALM ( dia mah kalm ....tanpa ekspresi) menjawab :”NEGARA BERKEMBANG atau NEGARA TERBELAKANG?”
Aku tertawa terbaha-bahak, sambil meng IYA kan..............
Lah bagaimana tidak TERBELAKANG?
HARI GINI...... yang katanya sudah kenal dengan TEKNOLOGI CANGGIH........ hampir semua PERMASALAHAN dan DISKUSI (termasuk PANSUS) tidak terlihat satupun penggunaan PAPAN PERAGA (misalnya presentasi dengan Power Point atau sejenisnya, yang bisa memperjelas ALUR PIKIR, dll) Semua dilakukan dengan cara KONVENSIONAL, ala PASAR TRADISIONAL.........Debat-debatan tanpa ALUR yang jelas........(alat PERAGA)
Demikian juga PROGRAM 100 HARI...... yang PROTES dan yang DPROTES... sama-sama ga ada KEJELASAN......... (100 hari sekian persen dari 5x324 hari)......
Mau tahu yang saya maksud? NEXT ..............
Surabaya, 28 Jan 010
UPW
nice story madem
BalasHapusmaturnuwun mas...
BalasHapus