NASEHAT KUNO YANG SARAT MAKNA
(KEARIFAN LOKAL PERLUKAH DILESTARIKAN?)
Saya masih ingat betul tatkala saya bermain anak-anakan (Jw) atau pura-pura jadi seorang ibu
yang sedang menggendong bayi. Waktu itu didalam kamar , saya menggendong boneka dengan selendang dan mengembangkan payung kecil untuk pura-pura melindungi bayi yang saya gendong. Tiba-tiba ibu saya menegur : ”Ee... didalam rumah jangan mengembangkan payung nggak ilok(Jw). Nanti kepalamu bisa borokan (Jw) (sejenis penyakit kulit). Waktu itu saya hanya diam, sambil membatin dalam hati. Apa iya..ya....
Rata-rata anak seusiaku waktu itu tidak sekritis atau lebih tepatnya, mungkin sebetulnya kritis, tetapi ada norma-norma yang menganggap tabu jika membantah teguran orangtua. Meskipun teguran tersebut dianggap sianak janggal. Yang dampak negatifnya menjadi tidak seberani anak sekarang yang senantiasa bisa bebas menanyakan hal-hal yang ingin diketahuinya dengan secara terbuka. Bahkan kadang saking terbukanya sampai kebablasan, kurang menerapkan tata krama ketimuran kepada orang tuanya atau orang yang lebih tua. Padahal Demokratispun ada aturan atau rambu-rambunya.
Suatu ketika tidak sengaja saya menduduki bantal ditempat tidur orang tua saya. Saat ibu melihatnya, kembali beliaunya menegur :” Bantal kok diduduki nduk, nggak ilok (Jw)” Nanti pantatmu bisa wudunen (Jw) (sejenis penyakit kulit)” Saya kembali diam dan membatin:”apa iya... ya hubungannya bantal dengan pantat wudunen apa ya ?
Peristiwa lain yang pernah saya pergoki (Jw) adalah saat ,eyang puteri, ibu dari ayah saya menegur kakak laki-laki saya yang sedang mengencingi pohon randu yang ada dihalaman rumah eyang.Waktu itu usia kakak sekitar enam belas tahunan. Tegur eyang puteri waktu itu :”Kalau kencing jangan disembarang tempat apalagi mengencingi pohon. Nanti yang tunggu pohon marah. Bisa-bisa kamu nggak bisa kencing lagi.” Kembali, saya tertegun, dan terpana..... dalam hati bertanya untuk kesekian kalinya.apa iya...ya...Memori, alam bawah sadar saya menyimpan lagi satu peristiwa serupa, teguran yang saya anggap waktu itu kurang masuk akal. Pohon ada penunggunya dan bisa marah???
Masyarakat Jawa, khususnya Jogja waktu itu juga sangat percaya pada mitos tentang Nyai Roro Kidul, penunggu dan penguasa laut Kidul.Bahkan setiap hari-hari tertentu, dari kasultanan Yogyakata ada upacara Nglarung, yakni mengirimkan sesajian kelaut selatan. Dimaksudkan agar Nyai Roro Kidul tidak murka, dan tidak meminta tumbal manusia dan lain seterusnya, yang tidak diharapkan manusia.
Jaman dulu, untuk menebang pohon-pohon besarpun selalu ada upacara-upacara khusus termasuk menetapkan waktu yang tepat pula.
Ada lagi adat kepercayaan yang dianut orang tua generasi orangtua saya kebelakang. Sepasang calon mempelai harus dikurung empat puluh hari empat puluh malam tidak boleh bepergian keman-mana. Istilahnya dipingit. Bahkan ada adat, yang menetapkan calon temanten laki-laki harus mondok seminggu sebelum hari H ditetangga temanten perempuan. Tentunya hal ini, jika diterapkan sekarang akan dicibir, diketawai oleh banyak orang, termasuk calon pengantinnya sendiri. Mereka terlalu menyepelekan, mengabaikan dan tidak mau tahu makna yang ada dibalik aturan dan adat tersebut. Itu semua dianggap tidak efisien. Membuang-buang biaya, tenaga dan waktu. Kuno dan klenik.
Sekarang lebih banyak yang menerapkan kepraktisan, pertimbangan effisiensi saja. Calon temanten masih berkeliaran kemana-mana, atau bahkan masih ngantor meski hari H perkawinan tinggal esok harinya digelar.
Setelah melalui renungan yang sangat panjang. Saya mulai sadar, bahwa nasehat para
tetua jaman dulu yang berkesan ”mistik”,”kocak” seperti tidak masuk akal tersebut sangat SARAT akan makna, Memang harus hati-hati dan ARIF dalam memaknai,mensikapi atau menterjemahkannya.Dengan menyaksikan bencana yang ada di Indonesia saat sekarang ini. Saya mulai menyadari. Bahwa semua petuah-petuah dari tetua kita jaman dahulu, sangat bermakna. Mungkin karena waktu itu ilmu pengetahuan tentang bagaimana menyampaikan ilmu dengan cara yang ilmiah yang masih sangat terbatas. Maka banyak anak turun para orangtua tadi tidak atau kurang faham, kurang bisa memaknai nasehat yang telah disampaikan. Rata-rata mereka hanya menganggap nasehat orang tua jaman dulu tidak bermutu, bahkan dianggap mistik, tidak masuk akal sehat.
Padahal kalau kita telaah lebih dalam lagi, maka semua nasehat atau teguran orangtua kita amat sangat dalam maknanya. Yang semua intinya adalah utuk mengingatkan pada kita, bahwa dalam menjalani hidup ini kita harus care, harus peduli pada diri sendiri, keluarga, tetangga, saudara, kerabat, lingkungan, sesama, alam dan seisinya. Kita harus mensyukuri, memelihara, NGURI-URI, (Jw) apa yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. Kita harus ngupokoro(Jw) dengan baik dan cermat.
Kilas balik saya berusaha mengartikan semua nasehat dan teguran dari tetua saya waktu itu.
Bagaimana kita harus menerapkan istilah MPAN PAPAN (Jw). Bantal tidak seharusnya diduduki. Bantal letaknya dikepala, jadi tidak mapan (tidak pada tempatnya) jika itu diletakkan dipantat. Lebih dalam itu juga bisa dijadikan simbol bahwa manusia harus bisa menempatkan diri, barang, ilmu pengetahuan, peran, adat istiadat, budaya pada tempat yang tepat. Kalau dikaitkan dengan porno aksi dan pornografi yang marak sekarang ini, Jika itu diatur sesuai NORMA- yang berlaku rasanya tidak perlu menjadi masalah besar. Tidak perlu diberantas, cukup diberi aturan yang konsisten, jelas dan konsekuen.
Jika kita bisa memapankan atau mengatur pendaerahan yang benar dan jelas, konsisten untuk perkotaan. Dimana daerah untuk penghijauan, untuk usaha, untuk pendidikan dan pemukiman dan lain lain, maka tentunya tidak akan pernah terjadi banjir, dan lain sebagainya.
Demikian juga dengan melakukan upacara-upacara ritual seperti Nglarung kelaut Kidul. Itu semua maknanya adalah untuk MEMELIHARA ALAM, agar laut tidak dicemari oleh kotoran-kotoran yang dihasilkan oleh manusia, misalnya sampah dan menerapkan aturan-aturan kebersihan lingkungan termasuk bebas dari limbah-limbah polutan dan sejenisnya. Nglarung, bisa diartikan, simbolisasi, bahwa manusia peduli terhadap alam. Isi alam ini harus dienik-enik, diupokoro. Dengan memelihara alam dan isinya, berarti kita akan selalu ingat kepada penciptaNya, yakni Tuhan yang Maha Pencipta. Tuhan telah memberikan berkah yang besar lewat laut, dan isinya. Pepohonan yang rindang, memberikan kesejukan, menghasilkan Oksigen yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Belum lagi pepohonan yang menghasilkan buah, buahnyapun bisa memberikan penghidupan dan kehidupan bagi manusia. Manusia harus mengimbanginya dengan memelihara, melindungi dari kerusakan. Itu juga dapat dimaknai dari eyang puteri saya yang menegur kakak saya untuk tidak mengencingi pohon.
Kalau di Yogya, yang dilarung untuk persembahan Nyi Loro Kidul ada pakaian, makanan, bunga dll.Lalu kalau LUMPUR PANAS SIDOARJO itu mau DILARUNG ke laut..... ada enggak ya Nyi Roro Kidulnya? Jika ada marahnya kayak apa ya dilarung dikirimi LUMPUR?
Satu dari banyak contoh teguran yang juga bisa mewakili ajaran para orangtua dulu adalah bahwa manusia harus tanggap terhadap lingkungan. Tidak boleh cuek, atau egois. Manusia juga harus memperhatikan kepentingan orang lain. Manusia harus mempedulikan lingkungan sekitar.Dengan mengembangkan payung didalam rumah, tentunya akan mengganggu penghuni lain yang perlu berlalu lalang disekitarnya. Bisa jadi payung tersebut dapat melukai orang lain.
Kembali lagi, bahwa teguran, peringatan, nasehat tetua kita disampaikan dengan cara konvensional, yang bisa jadi justru bisa disalah artikan jika tidak benar-benar melalui renungan yang panjang, yang kemudian menterjemahkannya dengan arif.
Saya ingat betul betapa kakak ipar saya tegang luar biasa saat harus menunggu calon mantunya yang belum juga sampai di kota tempat resepsi pernikahan akan diselenggarakan.Calon mantunya masih diluar kota karena masih menyelesaikan tugas kantornya. Tidak kalah hebohnya, saat kakak perempuan saya mantu anak wanitanya. Temanten lelaki masih di Luar Negeri, padahal hari H nya tingga esuk malam.
Dikoran sering saya baca, calon temanten lelaki urung datang memenuhi ijab kabul. Bahkan banyak yang kabur, melarikan diri ketempat yang tidak diketahui. Calon penganten laki-laki meninggal karena kecelakaan mobil saat perjalanan menuju upacara ijab kabul.
Untuk meminimalisisr keadaan-keadan tersebut, maka adat jaman dulu menetapkan aturan-aturan bagi calon penganten. Penganten di PINGIT sekian hari sekian malam. Untuk meminimalisir agar temanten laki-laki yang suka ngabur, maka calon temanten laki-laki harus NYANTRI (jw). Beberapa hari sebelum hari H tiba, calon temanten lako-laki harus mondok (nebeng) dirmah tetangga calon penganten wanita. Maksudnya tentunya agar mudah diawasi, sehingga sangat kecil kemungkinan untuk ngabur. Orangtua tidak perlu menghabiskan enerji untuk ketegangan.
Surabaya, 06 – 06 – 06 jam 06 - 06
Unik Wardhono
Langganan:
Postingan (Atom)