
MOS (Masa Orientasi Siswa) KENAPA ORANG TUA HARUS HEBOH ?
Saya setuju, MOS yang sekarang, KUALITAS lebih diTINGKATKAN.
TUJUAN UTAMA lebih TERKONSEP dengan BAIK, sehingga tujuan PENGGEMBLENGAN MENTAL untuk SANGU siswa kelak kalau terjun diLAPANGAN , diDUNIA NYATa ini menjadi TANGGUH, dalam menghadapi TANTANGAN kedepan TIDAK TERKAGET-KAGET dan menjadi LEBIH KREATIF .........
Jika untuk itu semua cara kakak-kakak kelasnya mengambil CARA YANG LUCU-LUCU , WAKTUnya juga TIDAK BERLEBIHAN (tidak sampai terlalu malam), menurut saya SYAH-SYAH saja yang penting TIDAK ADA KEKERASAN FISIK!!!!!!
Kalau cuma TERIAKAN-TERIAKAN kakak – kakak kelas saat PERPLONCOAN kenapa harus KHAWATIR? Toh SUARA MEREKA juga ADA BATASnya.......Yang penting hanya disaat perploncoan dan BUKAN KEKERASAN FISIK.....
Orangtua tidak perlu IKUT2AN, sejauh TIDAK ADA hal-hal yang menyimpang atau mengkhawatirkan. Orang tua cukup MEMANTAU saja.........
Saya dulu kok ya tidak pake bikin heboh orang tua.......Bikin tugas dan kebutuhan perploncoan ya saya kerjakan sendiri., saya atasi sendiri.........
Insya Allah kondisi sekarang ini tidak terjadi DEGRADASI KEMATANGAN MENTAL dan JIWA, sehingga anak-anak lebih MANJA...Kalau itu sampai terjadi, maka PERAN ORANG TUA yang terlalu mengKHAWATIRkan anak-anaknya juga sangat merugikan anak itu sendiri........
Saya pernah kecil, pernah muda dan juga sudah punya anak.........Semua Insya Allah saya lalui tidak dengan terlalu dimanja orang tua dan terlalu memanjakan anak.....
Berikut tulisan pengalaman saya saat mengikuti Perploncoan yang pernah saya tulis 2005 yll.....
Surabaya, 12-07-09
UPW
PLONCO SMA………..
“Kalau nanti dibentak-bentak,dimarahi,cuek saja”.”Anggap saja mereka lagi sinting, lagi gila,lagi tidak waras otaknya” Demikian pesan dua kakak saya yang serumah dengan saya waktu itu.
Sambil mengepang rambut saya, dan memberikan pita merah diikatannya, perasaan saya was-was juga.
Hari itu hari pertama saya mengikuti perploncoan di SMA. Sepeda phoenix hitam mengkilat saya keluarkan dari rumah. .”Jangan lupa.... anggap orang-orang yang teriak-teriak itu sinting... edan.... gila” Teriak kedua kakak saya hampir berbarengan dari dalam kamar mereka masing-masing.sayup-sayup masih terdengar ditelinga saya.
Setelah berpamitan kepada kedua orang tua, sayapun bergegas mengayuh sepeda menuju sekolah baru saya sekalian nyamperin teman yang kebetulan berdekatan dengan rumah saya.”Jangan lupa.... anggap orang-orang yang teriak-teriak itu sinting... edan.... gila” Teriakan itu terus terngiang disepanjang perjalanan saya
Benar sekali, belum sampai masuk gerbang sekolah, kakak-kakak kelas panitia perploncoan sudah memperlihatkan kegarangan dan kesombongannya.Mereka sudah menghadang dipintu masuk.”ayo.... turun dari sepeda.....tasnya digantungkan dileher.......”teriak salah seorang raka persis ditelinga saya dengan beringas. Gendang telinga serasa mau pecah.Sambil menyeringai,saya berusaha menutupi kuping saya dengan bahu saya , dan berusaha tersenyum. ”e.... jangan senyum-senyum....kemayu... emangnya saya tertarik senyumanmu he..”
Itulah sekilas gambaran suasana perploncoan yang saya alami. Dengan berbekal anjuran dari kakak-kakak saya, ternyata saya termasuk cewek calon siswi SMA disitu yang cukup tangguh. Dibentak-bentak, diomongin yang menyakitkan hati (kalau kondisi normal) tetap diam saja, tidak menangis, tidak sakit hati.Padahal teman-teman cewek lain sudah mulai tumbang imannya dan mulai menangis.
Mungkin karena sangat penasaran terhadap keteguhan saya, serombongan raka raki (kakak kelas laki-laki dan perempuan) bersama-sama mengerjain saya.Saya tetap bergeming (tidak tergoyahkan). Bahkan ada raki yang mencoba menyuruh untuk menghapus alis saya karena dikira pakai pensil alis.(padahal asli bok). Syukurin malu sendiri biar diusek-usek wong alis asli ya tetap saja hitam (ha...ha).
Berhari-hari keadaan tersebut tidak juga berubah.Sayapun bukannya semakin goyah,tetapi bahkan semakin nekad. Teriakan mereka benar-benar saya anggap teriakannya orang sinting, seperti apa yang dipesankan oleh kakak-kakak saya.
Ternyata rasa penasaran mereka terhadap saya semakin besar. Nyatanya mereka berombongan terus berusaha meneror saya. Padahal terhadap yang lainnya mereka hanya membentak orang-perorang, tidak berombongan.
Akhirnya terjadi klimaksnya. Seorang raka yang cukup cakep, cerdas dan berwibawa, datang kesaya sambil .....(menyebut nama saya) dengan lembut sekali........:kamu itu perempuan ......cantik lagi......... tapi.... kamu itu seperti orang yang tidak punya perasaan..........tak punya malu.....seperti laki-laki...dst...dst diungkapkan dengan halus dan lembut sekali.......Entah karena diam-diam sebetulnya dilubuk paling dalam sebenarnya hati saya sudah menahan rasa marah terhadap raka-raki yang telah membentak-bentak saya, atau...karena justru memang kelembutan itu telah menyentuh kalbu saya... maka justru dengan kelembutan tadi....MELEDAKLAH tangis saya sejadi-jadinya, sekeras-kerasnya dan tidak pernah berhenti sampai plonco hari itu selesai. Raka yang berkata lembut penuh kritikan, tapi menyentuh itu sangat panik dan ketakutan. Dia berusaha menenangkan tangis saya. Tapi bukannya tangis saya mereda, tapi malah semakin bertambah keras dan terisak-isak. Saat itu saya sangat benci terhadap raka yang telah berhasil MENJEBOL benteng pertahanan saya. Saya merasa GAGAL. Padahal hari itu adalah hari terakhir perploncoan, karena esuknya sudah ada acara penutupan diluar sekolah dan dilanjutkan malam inaugurasi.Kenapa saya tidak bisa bertahan untuk tidak menangis?... Sampai malam inaugurasi saya masih mendiamkan raka tadi, meskipun dia senantiasa berusaha mendekati saya, meminta maaf dst...dst...Saya diam seribu bahasa..... ...Bahkan saya palingkan muka kalau dia ajak bicara
Kalau sekarang saya renungkan kembali peristiwa itu..... maka timbul pertanyaan didalam hati Kenapa ya pada waktu disikapi dengan kelembutan justru benteng pertahanan saya jebol? Apakah karena saya tidak mendapatkan bekal tentang bagaimana mengatasi KELEMBUTAN ini dari kakak-kakak saya? Sehingga yang tersimpan dimemori saya hanya bertahan terhadap kekerasan (saat itu)?
Tapi, sekeras apapun sikap mereka, atau kritikan selembut apapun, TIDAK pernah membuat DENDAM dihati saya. Saya sangat sadar itu semua hanya PERMAINAN belaka. Itu hanya mengasah mental saya. Justru kenangan itu sangat amat manis membekas dan tersimpan dihati saya........sampai kini, bahkan nanti.....Meski saya tidak ingin mengulang peristiwa itu lagi, tapi kini saya sangat menikmati kenangan itu sebagai pengalaman hidup dan kenangan yang sangat manis….yang tidak mungkin terlupakan. Setelah saya menjadi siswa disitu, justru saya cukup dekat dengan raka yang membuat saya menangis..... Dia bahkan selalu meledek dan mengingatkan saya pada peristiwa tersebut...... Kini...... Sudah sekian puluh tahun saya tidak pernah bertemu lagi dengan raka tersebut. Sudah berapa ya istrinya?...e maksud saya anaknya? Atau sudah bercucu?Rasanya belum kalau bercucu....
Nah kenapa saya ceritera itu?
Sekarang kan masanya perploncoan (karena istilahnya berubah-ubah,jadi saya kurang tahu tepatnya).
Menurut saya pribadi, perploncoan sangat perlu asalkan tidak menjurus pada kekerasan fisik. Pengalaman saya, justru dengan plonco, akan semakin mendekatkan kita pada seluruh warga disitu. Karena denga perploncoan mau tidak mau kita menjadi tahu dan ingat nama kakak-kakak kelas kita. Belum tentu hal itu terjadi andaikata tidak ada plonco.Plonco juga mejadikan kita belajar tidak manja. Keharusan naik sepeda (tidak boleh diantar). Menjadikan kita punya pengalaman tersendiri.
Surabaya,medio Juli 2005
Uniek Wardhono